Oleh: Kopong Hilarius
KETIKA
masih duduk di bangku SD, sering sekali saya berkelahi dengan orang dari desa
lain gara-gara mereka merendahkan desa kelahiran saya. Ketika ada orang yang
merendahkan desaku dengan sebutan "Pledo lobo mapan'ne", saya akan
membela mati-matian tanpa peduli apakah hal itu akan menyakiti diri sendiri
atau diri orang lain. Saya sendiri tidak menyadari secara penuh mengapa saya
dan teman-teman selalu bereaksi demikian jika ada orang yang merendahkan desa
atau kampung saya. Yang pasti saat mendengar orang merendahkan desa saya dengan
'lobo mapa'an'ne' kami merasa harga diri kami sebagai anak desa terhina karena
direndahkan.
TETAPI
mengapa saya dan teman-teman merasa direndahkan dengan kata-kata itu? Ternyata
setelah semakin dewasa, saya menyadari bahwa rasa rendah diri yang dirasakan saat
itu bukan karena saya dan teman-teman merasa diri kami direndahkan tetapi
karena kami merasa bahwa seluruh komponen Lewotana (kampung halaman) yang kami
banggakan direndahkan. Leluhur kami yang mendirikan kampung halaman itu hingga
leluhur yang meneteskan darah dan keringat untuk Lewotana direndahkan. Tidak
hanya leluhur kami tetapi juga semua simbol-simbol sakral seperti 'nuba nara',
' Uma lango epu orin', diindahkan; serta kepahlawanan dalam bentuk 'gelekat
Lewotana' pun direndahkan. Inilah mengapa saya dan teman-teman selalu membela
Lewotana (kampung halaman) kami waktu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
KASUS
politik "Tampang Boyolali" oleh Pak Prabowo itu mengajak saya untuk
melihat kembali masa kecilku dan berusaha memahami mengapa rakyat Boyolali
begitu marah karena ungkapan "Tampang Boyolali". Saya menduga orang
Boyolali marah bukan karena ungkapan "Tampang Boyolali" tetapi karena
ungkapan itu disematkan pada status sosial tertentu yaitu
"kemiskinan". Orang miskin bukan suatu yang rendah atau jelek namun
ketika dibanding-bandingkan dengan kemewahan, dimana kemewahan merupakan suatu
simbol status elit masyarakat kapital, maka ungkapan "Tampang
Boyolali" yang tidak pernah keluar masuk hotel berbitang adalah ungkapan
menjadi bernada merendahkan. Ungkapan yang mengeneralisasi yang diarahkan
kepada orang Boyolali dalam satu kesatuan yang bersifat merendah itu bukan saja
merendahkan orang Boyolali saja tetapi juga dapat diterima sebagai merendahkan
tanah tumpah darah beserta seluruh kebanggaannya orang Boyolali.
ADA
ORANG mengatakan bahwa ungkapan ini hanyalah sebuah goyonan saja; ada juga yang
mengatakan ungkapan ini hanyalah mengatakan yang sebenarnya; serta ada yang
lain yang lebih ilmiah (menurut dirinya) bahwa ungkapan ini hanya mengatakan
disparitas antara yang kaya dan miskin. Silakan saja orang berpendapat tetapi
saya sangat memahami mengapa orang Boyolali marah terhdap ungkapan ini karena
saya pernah merasakannya pada masa saya masih duduk di bangku SD. Saya merasa
terhina karena ada ungkapan "Pledo Lobo Mapan'ne" yang bernada
merendahkan kampung halamanku. Rasa seperti ini dimiliki oleh kita semua
terutama kita yang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan 'lewotana' -
kampung halaman kita.
MEMANG
Tak jarang kita mendengar goyonan dari teman-teman atau orang sekitar kita
tentang label tertentu dari Lewotana (kampung halaman) kita dalam kehidupan
sehari-hari. Tak kita sadari bahwa guyonan itu telah mengusik rasa kita walau
kita berusaha untuk tidak marah atau terhina. Namun ketika ungkapan yang
dikatakan 'guyonan' itu disampaikan dalam suatu kampanye Pilpres suatu negara
maka nuansanya menjadi sangat besar dan dasyat karena hal itu pasti didengar
oleh seluruh rakyat Indonesia bahkan didengar oleh manusia penghuni jagat bumi
ini. Dan bukan hanya didengar sekali saja, tetapi bisa juga berulang kali
karena kecanggihan teknologi dewasa ini. Karena itu tak pantas bagi kita
mengatakan bahwa ungkapan "Tampang Boyolali" hanyalah guyonan belaka
dan tak perlu dibesar-besarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar