Sabtu, 10 November 2018

Tampang Boyolali dan Refleksi Tentang Bela Lewotana



 Oleh: Kopong Hilarius
KETIKA masih duduk di bangku SD, sering sekali saya berkelahi dengan orang dari desa lain gara-gara mereka merendahkan desa kelahiran saya. Ketika ada orang yang merendahkan desaku dengan sebutan "Pledo lobo mapan'ne", saya akan membela mati-matian tanpa peduli apakah hal itu akan menyakiti diri sendiri atau diri orang lain. Saya sendiri tidak menyadari secara penuh mengapa saya dan teman-teman selalu bereaksi demikian jika ada orang yang merendahkan desa atau kampung saya. Yang pasti saat mendengar orang merendahkan desa saya dengan 'lobo mapa'an'ne' kami merasa harga diri kami sebagai anak desa terhina karena direndahkan.
TETAPI mengapa saya dan teman-teman merasa direndahkan dengan kata-kata itu? Ternyata setelah semakin dewasa, saya menyadari bahwa rasa rendah diri yang dirasakan saat itu bukan karena saya dan teman-teman merasa diri kami direndahkan tetapi karena kami merasa bahwa seluruh komponen Lewotana (kampung halaman) yang kami banggakan direndahkan. Leluhur kami yang mendirikan kampung halaman itu hingga leluhur yang meneteskan darah dan keringat untuk Lewotana direndahkan. Tidak hanya leluhur kami tetapi juga semua simbol-simbol sakral seperti 'nuba nara', ' Uma lango epu orin', diindahkan; serta kepahlawanan dalam bentuk 'gelekat Lewotana' pun direndahkan. Inilah mengapa saya dan teman-teman selalu membela Lewotana (kampung halaman) kami waktu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
KASUS politik "Tampang Boyolali" oleh Pak Prabowo itu mengajak saya untuk melihat kembali masa kecilku dan berusaha memahami mengapa rakyat Boyolali begitu marah karena ungkapan "Tampang Boyolali". Saya menduga orang Boyolali marah bukan karena ungkapan "Tampang Boyolali" tetapi karena ungkapan itu disematkan pada status sosial tertentu yaitu "kemiskinan". Orang miskin bukan suatu yang rendah atau jelek namun ketika dibanding-bandingkan dengan kemewahan, dimana kemewahan merupakan suatu simbol status elit masyarakat kapital, maka ungkapan "Tampang Boyolali" yang tidak pernah keluar masuk hotel berbitang adalah ungkapan menjadi bernada merendahkan. Ungkapan yang mengeneralisasi yang diarahkan kepada orang Boyolali dalam satu kesatuan yang bersifat merendah itu bukan saja merendahkan orang Boyolali saja tetapi juga dapat diterima sebagai merendahkan tanah tumpah darah beserta seluruh kebanggaannya orang Boyolali.
ADA ORANG mengatakan bahwa ungkapan ini hanyalah sebuah goyonan saja; ada juga yang mengatakan ungkapan ini hanyalah mengatakan yang sebenarnya; serta ada yang lain yang lebih ilmiah (menurut dirinya) bahwa ungkapan ini hanya mengatakan disparitas antara yang kaya dan miskin. Silakan saja orang berpendapat tetapi saya sangat memahami mengapa orang Boyolali marah terhdap ungkapan ini karena saya pernah merasakannya pada masa saya masih duduk di bangku SD. Saya merasa terhina karena ada ungkapan "Pledo Lobo Mapan'ne" yang bernada merendahkan kampung halamanku. Rasa seperti ini dimiliki oleh kita semua terutama kita yang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan 'lewotana' - kampung halaman kita.
MEMANG Tak jarang kita mendengar goyonan dari teman-teman atau orang sekitar kita tentang label tertentu dari Lewotana (kampung halaman) kita dalam kehidupan sehari-hari. Tak kita sadari bahwa guyonan itu telah mengusik rasa kita walau kita berusaha untuk tidak marah atau terhina. Namun ketika ungkapan yang dikatakan 'guyonan' itu disampaikan dalam suatu kampanye Pilpres suatu negara maka nuansanya menjadi sangat besar dan dasyat karena hal itu pasti didengar oleh seluruh rakyat Indonesia bahkan didengar oleh manusia penghuni jagat bumi ini. Dan bukan hanya didengar sekali saja, tetapi bisa juga berulang kali karena kecanggihan teknologi dewasa ini. Karena itu tak pantas bagi kita mengatakan bahwa ungkapan "Tampang Boyolali" hanyalah guyonan belaka dan tak perlu dibesar-besarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar